17 Juni 1864
Jejak
Jalur Kereta Api Pertama di Jawa
Ilustrasi Mozaik
Jalur Kereta Jawa Pertama.
tirto.id/Gery Oleh: Fadrik Aziz Firdausi
- 17 Juni 2018.
tirto.id - Pada 17 Juni 1864 atau 154
tahun lalu, Gubernur Jenderal Baron Sloet van den Beele meresmikan pembangunan
jalur kereta api pertama di Hindia Belanda. Pembangunan jalur kereta api itu
dimulai dari Desa Kemijen, Semarang, dan direncanakan akan sampai Yogyakarta.
Adalah Nederlansch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) perusahaan swasta yang
mendapatkan konsesi dari pemerintah kolonial untuk membangun dan menjadi operator
jalur perdana itu. Ide pembangunan jalur kereta api di Jawa bermula dari
kebutuhan transportasi pengangkut hasil bumi yang bisa cepat dan efisien. Pada
1830-an, saat cultuur stelsel diterapkan di Jawa, perkebunan tanaman komoditas
ekspor seperti tebu, kopi, nila, dan tembakau sedang tumbuh pesat. Dalam dua
dasawarsa sejak kebijakan itu diterbitkan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch,
telah terjadi peningkatan ekspor hasil bumi Pulau Jawa yang tajam.
Pesatnya pertumbuhan perkebunan dan
aktivitas ekspor itu kurang diimbangi dengan ketersediaan transportasi dan
infrastruktur yang memadai. Jarak antara pelabuhan dan perkebunan di pedalaman
Pulau Jawa cukup jauh. Ditambah lagi, umumnya perkebunan itu berada di daerah
perbukitan, dengan kondisi jalan yang ada kala itu adalah jalan tanah yang
belum diperkeras. Jika musim penghujan tiba, jalan itu pun malah menyulitkan
karena berlumpur. Alat transportasi yang ada pun terbatas. Untuk mengangkut
hasil bumi dari perkebunan ke pabrik atau pelabuhan hanya mengandalkan tenaga
manusia atau pedati. Dampaknya pengangkutan jadi lambat dan kapasitasnya
terbatas. Cara lainnya, adalah dengan memanfaatkan perahu menyusuri sungai
hingga muara yang dekat ke pelabuhan. Kendala-kendala semacam itulah maka perlu
suatu terobosan baru untuk memperlancar pengangkutan hasil bumi. Jika
dibiarkan, hasilnya tentu malah kontraproduktif bagi perekonomian koloni. Agus
Mulyana dalam Sejarah Kereta Api di Priangan (2017:54) mengatakan “Lambannya
pengangkutan dapat mengakibatkan banyak hasil bumi menumpuk di gudang-gudang di
daerah pedalaman dan membusuk karena tidak terangkut.”
Untuk itulah pembangunan jalur kereta
api bisa jadi jalan keluar dari masalah distribusi. Pertimbangan lain, menurut
Agus Mulyana, adalah untuk kepentingan pertahanan militer. Saat itu pemerintah
kolonial memang masih menghadapi perlawanan-perlawanan kecil dari sisa-sisa
laskar Pangeran Diponegoro (hlm. 56).
Dua
Dekade Tarik Ulur
Insinyur militer Kolonel J.H.R. van Der
Wijk yang pertama kali mengajukan usul pembangunan jalur kereta api di Pulau
Jawa kepada pemerintah kolonial. Dalam usulannya, van Der Wijk mengajukan jalur
dari Surabaya ke Batavia melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung sebagai
prioritas. Usulan van Der Wijk itu mendapat respons positif dari Kerajaan
Belanda. Pada Mei 1842 pihak kerajaan menerbitkan Koninklijk Besluit no. 207
yang memerintahkan pembangunan jalur kereta api dari Semarang ke Kedu dan
Vorstenlanden--wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Namun, hingga beberapa tahun
setelahnya, perintah itu tak pernah terlaksana. Penyebab tak terlaksananya
besluit itu adalah belum adanya informasi dan peta wilayah Pulau Jawa yang
memadai untuk pembangunan jaringan rel kereta. Akhirnya Menteri Urusan Jajahan
J.C. Baud mengutus Letnan Zeni G.H. Uhlenbeck untuk mengadakan survei
pendahuluan. “G.H. Uhlenbeck mengadakan pengukuran bagi pembangunan jalan
kereta api dari Semarang menuju Kedu dan Vorstenlanden. Pengukuran dapat diselesaikan
pada Mei 1844. Hasil pengukuran tersebut memberikan kesimpulan bahwa usulan van
Der Wijk tidak bisa dilaksanakan,” tulis Agus Mulyana (hlm. 56).
Banyak juga pengusaha perkebunan yang
mengajukan konsesi pembangunan jalur kerata api kepada pemerintah Belanda.
Mereka memang berkepentingan agar distribusi hasil bumi semakin lancar. Namun,
sampai 1861 permohonan mereka selalu ditolak pemerintah. Ketiadaan survei
lapangan yang bisa diandalkan dan kajian ekonomi yang matang menjadi alasannya.
Selain itu, faktor lain yang membuat tertundanya pembangunan jalur kereta api
di Jawa adalah perdebatan tentang siapa yang seharusnya membangun dan mengelola
jalur kereta api di Pulau Jawa. Pemerintah kolonial dan negeri Belanda tak satu
suara. Gubernur Jenderal Rochussen (1845-1851) misalnya, selalu mendorong agar
pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah kolonial. Namun, pengganti Rochussen,
Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist justru menghendaki pihak swasta yang
ambil peran membangun rel. Sikap yang sama juga ditunjukkan Menteri Urusan
Jajahan saat itu, J.C. Pahud. Keduanya sama-sama mendorong agar pemerintah
Belanda segera menyetujui permohonan konsesi oleh pihak swasta. Ketika
Rochussen menjadi Menteri Urusan Jajahan pada 1860, ia masih semangat mendorong
pemerintah menginisiasi pembangunan jalur kereta api di Hindia. Namun,
lagi-lagi usulannya dimentahkan oleh insinyur kepala Burgerlijke Openbare
Werken (Dinas Pekerjaan Umum masa kolonial) De Bruyn. Menurutnya pengerjaan
oleh pemerintah tidaklah terlalu mendesak (hlm. 59-61). Pada akhirnya swasta
diberikan kesempatan membangun jalur kereta api pertama di Pulau Jawa,
sekaligus Hindia Belanda. Adalah kelompok pengusaha yang digawangi W. Poolman,
Alex Frazer, dan E.H. Kol yang mendapat konsesi dari Gubernur Jenderal Baron
Sloet van den Beele pada Agustus 1862. Setahun kemudian ketiganya lantas
mendirikan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) untuk memulai
pengerjaan jalur Semarang-Vorstenlanden. Menurut Yoga Bagus Prayogo dkk. dalam
Kereta Api di Indonesia (2017:12) jalur ini akan melalui Kedungjati dan
Surakarta. Dari Kedungjati jalur akan dicabangkan menuju Ambarawa untuk
mendukung kepentingan militer Belanda. Ruas pertama yang jadi tonggak sejarah
perkeretaapian di Hindia dibangun antara Kemijen-Tanggung sejauh 26 km. Pada
tahun yang sama NISM juga mendapat konsesi pembangunan jalur
Batavia-Buitenzorg--kini Jakarta-Bogor
Keseluruhan jalur kereta api
itu—Semarang menuju Vorstenlanden berikut percabangannya ke Ambarawa dan
Batavia menuju Buitenzorg—mulai beroperasi pada 21 Mei 1873. Sejak itu kereta
api mengubah wajah Hindia Belanda. Kereta api memacu ekonomi dan pertumbuhan
fisik daerah-daerah yang dilaluinya. Seabad lampau, hanya sedikit desa yang ada
di sepanjang jalan antara Semarang dan Vorstenlanden. Selama pembangunan
berlangsung, antara 1864-1870, ekonomi desa-desa yang dilalui proyek itu
perlahan tumbuh. NISM banyak memanfaatkan warga sekitar sebagai buruh dengan
upah harian atau borongan. Seiring dengan itu, pusat-pusat sosial dan
perdagangan lokal pun ikut bergeliat. G. Ambar Wulan dalam penelitiannya yang
bertajuk Peranan dan Perkembangan Kereta Api di Jalur Semarang-Solo pada Tahun
1864-1870 (1985) selama kurun itu NISM menggelontorkan investasi sebesar 17,3
juta gulden. Dari jumlah itu, sekitar sepuluh juta gulden berputar di wilayah
sekitar jalur kereta api. Perputaran uang yang besar itulah yang memengaruhi
perekonomian desa-desa sekitarnya. Salah satu contoh desa yang kemudian
berkembang adalah Kedungjati. Di lokasi ini NISM membangun percabangan menuju
Ambarawa dan Surakarta. Sebelumnya, Kedungjati hanyalah desa terpencil yang
dikelilingi hutan jati. Sejak pembangunan jalur kereta api berlangsung, desa
ini didatangi banyak orang dari Semarang, Demak, Grobogan, dan Salatiga yang
mencari pekerjaan. Kedungjati kemudian berubah menjadi pemukiman pekerja.
“Lama-kelamaan desa Kedung Jati menunjukkan
kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomis seperti, adanya pasar untuk memenuhi
kebutuhan yang lebih luas. Di malam hari juga terlihat kesibukan-kesibukan,
antara lain hiburan-hiburan seperti judi, tempat-tempat pelacuran dan
lain-lain,” tulis G. Ambar Wulan yang kini staf Pusjarah TNI (hlm. 54). Begitulah
umumnya keadaan desa-desa yang dilalui jalur kereta api baru. Desa-desa menjadi
kian ramai. Jaringan jalan yang baru pun dibuka untuk menghubungkan desa-desa
sekitarnya ke stasiun. Distribusi produk perkebunan pun menjadi lebih lancar
dan nilai ekonomisnya terus meningkat. Dampak lain yang terasa adalah penguatan
rantai administrasi kolonial dari pusat ke daerah. Pemungutan pajak, inspeksi,
pelayanan umum, pengaturan keamanan, dan perbaikan sarana pertanian di wilayah
Karesidenan Semarang pun jadi lebih teratur sejak itu. Respons terhadap keadaan
darurat seperti bencana pun jadi lebih cepat (hlm. 58-61).
Baca selengkapnya di artikel "Jejak Jalur Kereta Api Pertama di Jawa", https://tirto.id/cLZe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar